Sabtu, 12 Januari 2013

One of my sruggling in my life :')..

APAPUN YANG TERJADI, SELALU KUBERKATA
 “ ALLAH ITU MAHA BAIK”

Kisah ini bermula dari mimpi seoranng anak desa yang ingin mengubah nasib keluarganya menjadi lebih baik dari saat ini. Anak bernama Eka Rahmawati yang mencoba membingkai mimpinya agar kelak menjadi rangkaian kenyataan hidup yang indah. Tidak muluk sebenarnya cita-citanya, ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti dan mampu membahagiakan kedua orang tua dan keluarganya, serta menjadi seorang pendidik sejati bagi anak bangsa ini. Ya, itulah saya, sang pemimpi itu.
Kami bukanlah keluarga dengan ekonomi yang berlebih, dapat dibilang kami keluarga yang pas-pasan. Akan tetapi kami tidak pernah kekurangan akan kasih sayang dan kehangatan keluarga, itulah keluarga kami. Ayah saya bernama Kemiso, “ bapak” itulah panggilan kami untuk beliau. Untuk usianya yang kini sudah menginjak usia ke 48 tahun, beliau masih harus bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Beliaulah tulang punggung utama keluarga kami. Beliau rela menjalani berbagai macam jenis pekerjaan, mulai dari bertani dengan mengerjakan sawah sendiri yang tidak seberapa luas hingga mengerjakan sawah tetangga denga sistem bayar maupun bagi hasil. Untunglah ada salah satu kerabat kami yang mempercayakan pengelolaan sawahnya kepada keluarga kami, hal ini cukup membantu menambah penghasilan keluarga kami.
Selain bertani, ayah saya adalah seorang tukang batu yang bekerja untuk tetangga yang sekaligus saudara kami. Pakde Suprat, kami biasa memanggil bos ayah kami. Jika sedang ada panggilan kerja, biasanya panggilan kerja yang lain pun berdatangan, bagaikan jamur di musim penghujan. Akan tetapi jika sedang sepi, ayah terkadang terpaksa menganggur bahkan hinggga berbulan-bulan. Ayah kami memang ayah yang multitalenta dan tak kenal putus asa, selain bertani dan menjadi tukang batu, ayah masih rela menjadi seorang tukang sol sepatu dan tukang tambal ban sepeda. Pekerjaan ini memang tidak selalu ada, sangat bergantung pada tetangga sekitar yang membutuhkan jasa ayah. Untuk urusan sol sepatu, ayah akan mendapat order yang cukup banyak saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Berpasang sepatu baru dari tetangga sekitar mengantri untuk dijahit. Banyak tetangga yang datang untuk mengesolkan sepatunya, walaupun ada tukang sol sepatu lain di desa saya. Mereka beralasan karena pekerjaan ayah saya rapi dan kuat.  Terkadang hati saya sangat sakit, karena ayah menjahit begitu banyak pasang sepatu baru saat menjelang hari raya, akan tetapi beliau jarang sekali membeli sepatu baru walaupun sepatu lamanya sudah butut. Tetapi beliau selalu berkata dengan bijak, “ mboten nopo-nopo mbak sepatune bapak mboten anyar. Lebaran niku mboten kudu anyar baju kaleh sepatune, sek penting hati kita, lahir batin sek bersih lan anyar, enggeh kan mbak ? mbak kaleh adek juga teseh ngangge sepatu lebaran taun wingi to? Mamak juga, begitulah ayah menjawab dengan bahasa Jawanya tatkala saya mengomentari sepatu bututnya. Begitulah sosok ayah saya, sosok ayah yang begitu kami banggakan dan menjadi panutan saya dan adik-adik saya. Ayah mempunyai watak yang tegas. Beliau akan langsung menegur kami jika kami melakukan hal yang kurang baik, terutama dalam ibadah kami. Beliau selalu mengajarkan kami untuk selalu sholat tepat waktu.
Selain ayah, saya masih mempunyai pahlawan yang lain. Mama Saropah, tetapi kami biasa mengucapkannya dengan logat yang sedikit ngapak “ mamak”. Sosok anggun nan lembut yang selalu menjadi sandaran kami, tempat dimana kami sekeluarga mendapat limpahan kasih sayang yang tak pernah kekurangan, sosok yang memberika keamanan dan kenyamanan bagi kami, kini usia beliau sudah menginjak 43 tahun. Mama kami adalah seorang ibu rumah tanngga yang  sangat bertanggung jawab dalam mengemban tugasnya. Itulah pendapat kami anak-anaknya. Walaupun seorang ibu rumah tangga, mama tidak sepenuhnya diam di rumah. Beliau bersama ibu-ibu yang lain akan menjadi tenaga buruh tandur dan buruh matun dadakan jika musin tandur dan matun tiba. Bersama rekannya, beliau berangkat ke sawah tatkala mentari baru menampakkan wajahnya. Walaupun bekerja di sawah, beliau tidak lantas meninggalkan begitu saja tanggung jawabnya. Beliau telah mempersiapkan segala keperluan kami dan membereskan rumah sebelum berangkat.
Membeli telur bebek untuk kemudian dijual kembali adalah usaha baru yang beliau tekuni. Saat saya bertanya berapa keuntungan yang beliau peroleh dari penjualan telur itu, saya sungguh kaget karena beliau hanya mendapat untung Rp 50,00 hingga Rp 150,00  per butirnya. Subhanallah, sungguh tidak sebanding dengan usaha yang beliau lakukan, bersepeda dan tak jarang harus berjalan kaki untuk mendapat barang dagangan. Akan tetapi, dengan ikhlas beliau menjawab, “ Nggeh mboten nopo-nopo kan mbak. Lumayan saged ngge tambah tumbas bumbu dapur, kaleh ngge njajan Saski”, begitulah beliau menjawab dengan senyum khasnya yang selalu membuat saya kangen tatkala jauh dari beliau.
Di samping pahlawan-pahlawan hebat yang saya miliki, saya juga mempunyai dua malaikat kecil yang selalu menghibur dan menghidupkan suasana rumah kami. Fitri Dwi Febriani, adik pertama saya yang kini duduk di kelas X di sebuah SMA terbaik di kabupaten kami, Purworejo. Mbak Fitri, begitulah ayah, mama dan saya memanggilnya dan “ mbak Piti” panggilan dari adik saya, Saski, untuknya. Kini rumah menjadi sepi karena si bawel satu ini tidak tinggal di rumah selama belajar di SMA, dia hanya pulang satu hingga dua minggu sekali. Hal ini dikarenakan jarak rumah kami dengan sekolahnya yang terletak di kota kabupaten cukup jauh.
Saskia Nur Azizah, itulah nama cantik yang kami berikan untuk putri ketiga di keluarga kami. Saski lahir tepat ketika esok harinya saya menerima raport kenaikan kelas X SMA. Awalnya saya dan adik saya Fitri mersa terpukul ketika mngetahui akan mempunyai adik lagi, akan tetapi kini Saski atau “ neng Nung” panggilan sayang kami untuknya, telah mendatangkan suasana yang penuh keceriaan. Kini  di usianya yang ke 3, ia tumbuh dengan rasa keingintahuannya yang begitu besar akan semua hal di lingkungannya.
Masa putih abu-abu saya lewati bersama teman dan SMA N 2 Purworejo tercinta             ( SMANDA). Hari-hari yang saya alami selama menjalani masa putih abu-abu begitu hebat dan membekas dalam diri saya. Mencoba tetap berprestasi dan menjadi kebanggan orang tua adalah salah satu cita-cita saya, karena saya tidak ingin mengecewakan orang tua. Peringkat lima besar di kelas alhamdulillah ridak pernah lepas selama saya menjadi siswa di SMANDA. Hingga akhirnya tibalah dipenghujung masa putih abu-abu, kelas XII SMA. Disaat hampir semua teman saya sibuk mengikuti berbagai les tambahan menjelang UN, saya hanya bisa  mendapatkan pelajaran tambahan dari sekolah karena saya tidak tega untuk membebani orang tua dengan biaya les yang tidak sedikit. Walapun demikian, saya berusaha untuk tidak minder maupun putus asa. Hal ini justru saya jadikan cambuk untuk lebih giat lagi dalam belajar. Untunglah saya mempunyai sahabat yang begitu baik. Eva, Devita, Yekti, Fajriana dan sahabat lain yang tidak enggan meminjamkan catatan lesnya kepada saya.
Hai-hari kami disibukkan dengan persiapan UN dan pembekalan dari guru BK, termasuk pembekalan tentang pilihan untuk melanjutkan study ke Perguruan Tinggi. Disinilah hati saya mulai gundah. Berbagai Perguruan Tingi, mulai dari universitas, akademi, institut, sekolah tinggi, hingga sekolah kedinasan mendatangi sekolah kami untuk memberikan sosialisasi. Sosialisasi itu mampu mengubah mindset dan ketakutan saya akan Perguruan Tingi menjadi sebuah kekuatan, sehingga lahirlah kemauan saya untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, motivasi dari guru Kimia kami, Bu Tatik yang begitu membakar, membuat saya semakin bersemangat. Beliau bercerita tentang bagaimana suatu keadaan ekonomi yang kurang tak berhak membuat kita putus sekolah. Satu cerita yang begitu menarik bagi saya yaitu, adanya beasiswa BIDIKMISI yang diberikan pada siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka dapat kuliah dengan biaya 0 ( nol) rupiah.
Perlahan saya sampaikan keinginan saya untuk melanjutkan kuliah kepada orang tua. Sebagai orang tua mereka tentu mengetahui hal sekecil apapun yang dirasakan sang buah hati, termasuk dalam hal pendidikan. Kami pun mulai berbicara perlahan dari hati ke hati dan dengan tegas mereka mengungkapkan sangat mendukung keinginan saya untuk melanjutkan study. Saya melihat cahaya keikhlasan dan semangat dari setiap tatapan dan ucapan mereka.  Dari sinilah saya mulai menyusun potongan mimpi dan keberanian untuk menapaki cita-cita saya.
Ketika pengumuman dibukanya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tingi Negeri                 ( SNMPTN) jalur undangan saya pun tertarik dan kembali berunding dengan orang tua. Ketertarikan saya ini tentu beralasan, selain karena dorongan dari teman-teman dan nasehat guru BK, saya melihat nilai saya cukup layak untuk dikompetisikan dengan mereka didalam seleksi. Saya cukup yakin dengan pilihan saya dan orang tua tentang prodi dan universitas yang saya cantumkan dalam formulir pendaftaran. Akan tetapi, kita sebagai manusia memang hanya bisa merencanakan, berusaha dan berdoa, akhirnya semua itu akan kembali pada sang Penguasa. Begitulah, roda kehidupan memang terus berputar, membuat sang pelaku merasakan nikmatnya berada di atas dan pahitnya di bawah. Awalnya saya cukup yakin akan diterima melalui jalur undangan ini, tetapi kenyataan berkata lain. Allah belum mengizinkan keinginan saya kala itu. Sungguh terpukul hati saya, padahal saya sudah cukup lega karena lolos dalam seleksi calon penerima BIDIKMISI, akan tetapi orang tua terus memberikan dukungannya dan terus menyemangati saya untuk tidak terlarut dalam kesedihan.
Sempat terlintas dalam benak saya bahwa mimpi saya sudah beakhir dengan gagalnya saya masuk Perguruan Tingi melalui jalur undangan. Saya berusaha bangkit dan menata kembali serpihan cita yang belum tergapai. UN menjelang di sepan mata, kami semakin mematangkan diri untuk menghadapi UN dan alhamdulillah UN berjalan lancar. Begitu SNMPTN jalur tertulis dibuka, saya pun mendaftar. Saya bulatkan tekad dan niat untuk mengambil prodi PGSD UNY sebagai pilihan pertama saya, selain karena saya memang berminat, kedua orang tua pun menginginkan saya menjadi guru SD. Sembari menunggu pengmuman hasil SNMPTN tertulis, saya mencari pekerjaan untuk mengisi kekosongan waktu luang dan belajar mencari penghasilan sendiri. Saya menjadi seorang pelayan toko busana di Kutoarjo, tak jauh dari SMA saya. Pekerjaan ini saya jalani selama kurang lebih satu bulan. Disinilah saya menyadari bahwa untuk mendapatkan satu rupiah yang selama ini kita pandang sebelah mata membutuhkan perjuangan yang berat. Akan tetapi saya tidak pernah malu ataupun minder, justru saya bangga karena berani melakukan hal ini.
 Usaha, doa dan kerja keras kami akhirnya memberikan hasil yang manggembirakan. Alhamdulillah saya diterima di prodi PGSD UNY. Sayangnya, kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat karena saya kembali sadar bahwa biaya registrasi itu sangat mahal bagi kami. Jujur saja, orang tua saya belum mempunyai cukup uang untuk membayar sejumlah Rp 6.605.000,00. Disaat saya kembali temenung dan bimbang, kedua orang tua meyakinkan bahwa mereka pasti bisa mengusahakan itu. Disini saya lihat betapa besar perjuangan, pengorbanan dan ketulusan orang tua kita untuk sang buah hatinya. Berusaha menghubungi keluarga kami dan meminta bantuan untuk membiayai biaya registrasi. Masih saya ingat betul, malam itu malam Kamis hampir tengah malam, hujan di luar mengiringi hujan pula disudut mata ini menyadari bahwa besok adalah hari terkahir registrasi, akan tetapi uang yang ada belum mencukupi. Tetapi, mukjizat Allah memang nyata dan mempermudah jalan kami sehingga malam itu juga ayah dan ibu saya bisa mendapatkan uang untuk dibayarkan keesokan paginya.
Menapakkan kaki di universitas masyhur nan favorit membuat saya bangga bisa menjadi salah satu bagian di dalamnya. Berbagai proses saya lewati sebagai persyaratan menjadi seorang mahasiswa baru UNY, mulai dari registrasi, mengikuti berbagai pembekalan seperti ICT, ESQ hingga OSPEK. Rasa gundah saya tidak berhenti ketika saya mampu melakukan registrasi. Saya selalui dihantui perasaan bersalah karena telah begitu banyak membebani orang tua saya tanpa ada usaha dari saya untuk mengurangi beban tersebut. Satu hal yang membuat saya semakin sedih yaitu tatkala ayah saya harus opname di Puskesmas, dan keesokan paginya saya harus berangkat ke Jogja untuk mengikuti ritual maba yang wajib diikuti. Saya terpaksa meningglkan beliau, mama dan adik-adik saya. Keadaan yang saya alami ini diketahui oleh budhe teman saya, dimana saya tinggal sementara selama proses registrasi ini, Budhe Bambang. Beliau begitu merangkul saya, mendengar cerita saya layaknya seorang ibu kepada anaknya. Oleh karenanya tak sungkan saya ceritakan bagaimana latar belakang keluarga saya, termasuk keadaan ekonomi. Beliau senantiasa memotivasi dan membakar semangat saya, mengingatkan saya bahwa disana saya tidak sendiri, ada mereka keluarga baru saya. Saya juga tidak boleh melupakan untuk apa dan karena siapa saya bisa berkuliah di UNY.
Awalnya saya ragu bisa mendapatkan beasiswa BIDIKMISI seperti yang dulu saya cita-citakan, akan tetapi berkat arahan dari Budhe bambang dan salah satu kerabatnya saya kembali bersemangat untuk mencoba mengajukan permohonan beasiswa itu. Yang saya ingat, betapa berat usaha dan pengorbanan yang telah dilakukan semua orang untuk saya, maka saya pun harus berjuang, setidaknya untuk diri saya terlebih dahulu. Betapa berat perjuangan itu, diiringi liku dan tangis. Bersama teman saya menemui jajaran dekanat hingga birokrasi rektorat untuk mencari informasi pengajuan beasiswa itu.
Ternyata jalan itu tak semulus dan semudah jalan tol. Perlakuan yang kurang ramah serta ketidakjelasan informasi sehingga urusan saya ini berkali-kali dialihkan ke berbagai pihak. Setelah berkas berhasil dimasukkan saya harus menunggu dua minggu untuk mengetahui hasil dari surat permohonan saya itu, begitulah kata kepala bagian Tata Usaha. Dua minggu kemudian pun saya kembali ke rekorat dan menanyakan perkembangan dari permohonan saya, akan tetapi tak ada jawaban yang mampu menghapus kegundahan hati saya. Waktu begitu lama berjalan dan tak kunjung datang kejelasan apakah beasiswa saya diterima atau tidak. Bahkan kepastian itu tak kunjung saya dapatkan hingga saya sudah menjalani perkuliahan selama beberapa bulan di UNY Kampus Wates. Dan akhirnya keajaiban itu datang, tanpa kita menduga dari mana dan kapan datangnnya. Suatu sore selepas saya sholat ashar, teman saya mengabarkan bahwa nama saya tercantum sebagai salah satu mahasiswa penerima beasiswa BIDIKMISI. Subhanallah, Allah memang Maha Adil kepada setiap hambaNya. Berita ini bagaikan angin semilir di tengah keringnya panas padang pasir bagi keluarga kami. Airmata dan ungkapan syukur senantiasa saya dan orang tua panjatkan.
Never ending to fight, mungkin itulah ungkapan yang pantas kami jadikan motivasi. Pasalnya, setelah saya resmi diterima sebagai mahasiswa penerima beasiswa BIDIKMISI tidak ada pengumuman bagaimana prosedur untuk mengambil kembali uang yang telah di bayarkan. Hal ini dialami saya dan satu orang lagi teman dari UNY Kampus Wates juga. Usaha kami yang pertama ditolak, karena ketidaktahuan kami sehingga belum dapat melengkapi berkas yang harus disertakan. Setelah  berbagai persayratan dapat kami lengkapi, akhirnya uang yang telah kami bayarkan dapat kembali. Betapa bahagia saya membayangkan bagaimana ekspresi kedua orang tua saya jika saya pulang membawa uang sejumlah Rp 6.605.000,00 yang dulu dengan susah payah kami dapatkan.
Tetesan air bening itu menggantung di sudut mata ayah mama tatkala uang itu saya sampaikan kepada beliau. begitu sulit rasa itu untuk diiungkapkan. Apakan anda tahu apa yang dilakukan oleh ayah dan mama setelah menerima uang itu ? Ya, beliau langsung membagi-bagi uang tersebut untuk dikembalikan kepada saudara-saudara kami yang telah membantu biaya registrasi saya kala itu. Sungguh tak masuk dalam pikiran saya, tatkala beliau mengucapkan terima kasih kepada saya untuk semua itu. Saya merasa sangat tidak pantas untuk menerima ucapan itu, justru sayalah yang harusnya berterima kasih kepada beliau, karena sampai kapan pun saya tak akan pernah mampu membalas kebaikan yang telah beliau berikan.
Kini, saya dapat lebih fokus kuliah karena tak lagi harus selalu membebani orang tua karena selalu meminta uang, baik untuk biaya hidup, tugas-tugas maupun berbagai kegiatan yang wajib diikuti sebagai calon guru SD.  Saya dan adik saya juga belajar berusaha mencari uang saku sendiri dengan berjualan pulsa. Memang tak seberapa keuntungan yang didapat, setidaknya kami dapat membeli pulsa tanpa harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Saya berusaha memanfaatkan beasiswa yang saya dapatkan sebaik mungkin, karena ini merupakan amanat dari rakyat yang diberikan kepada kami untuk meringankan beban kuliah kami, sehingga kami dapat terus berprestasi tanpa perlu dihantui dengan selangitnya biaya kuliah yang harus dibayarkan. Sebagian beasiswa yang saya terima saya tabung, karena saya mempunyai keinginan untuk membeli laptop tanpa meminta uang dari kedua orang tua. Akan tetapi, keinginan itu baru terwujud tanggal 10 November 2012 kemarin. Sebelumnya saya mempunyai laptop sendiri, saya meminjam laptop teman untuk mengerjakan berbagai tugas. Mengantri dan menunggu si empunya laptop selesai mengerjakan tugas adalah resiko yang hahrus saya terima. Saya ikhlas dan tidak pernah membuat itu sebagai beban ataupun membuat saya minder karena termasuk segelintir mahasiswa yang belum mempunyai laptop. Untunglah saya mempunyai sahabat-sahabat yang begitu baik, dengan ikhlas mereka meminjami saya laptop untuk mengerjakan tugas, menulis artikel maupun utnuk keperluan lainnya. Hampir seluruh teman perempuan saya di asrama dulu pernah merasakan meminjamkan laptop kepada saya. Terima kasih, sahabatku untuk semua cerita, tangis, canda tawa dan cerita yang kita bagi bersama.
Menjadi mahasiswa BIDIKMISI tentu menimbulkan suatu kebanggan dan rasa takut itu sendiri. Bangga karena kami termasuk mahasiswa yang terpilih dan takut jika kami tidak mampu menunjukkan bagaimana mahasiswa BISIKMISI itu sebenarnya. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki, terutama belum adanya laptop sewaktu semester 1 dan 2, bukan menjadi alasan saya tidak bisa seperti mereka yang mempunyai fasilitas yang lengkap. Alhamdulillah, IP saya dalam dua semester ini cumlaude, bahkan IP semester 2 saya berhasil menjadi IP tertinggi mahasiswa FIP di UNY Kampus Wates. Saya berharap bahwa saya dan teman-teman yang lain dapat berprestasi, tidak hanya dalam bidang akademik saja, akan tetapi juga dalam bidang non akademik. Karenanya saya tidak ingin menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja yang hanya disibukkan dengan aktivitas pekuliahan dan berkutat dengan berbagai tugas yang diberikan. Oleh karena itu, saya bergabung menjadi salah satu pengurus HIMA PGSD UNY Kampus Wates. Berbagai pelajaran dan pengalaman yang belum pernah saya dapatkan dan tidak ada dalam bangku perkuliahan saya dapatkan dalam keluarga baru saya ini.

            Menjadi mahasiswa BIDIKMISI adalah tanggung jawab
Menjadi mahasiswa BIDIKMISI adalah amanat
Menjadi mahasiswa BIDIKMISI adalah tantangan
Akan tetapi…
Menjadi mahasiswa BIDIKMISI adalah kebanggan
Kawan, mari kita tunjukkan
Memang kita bukan orang kaya
Memang kita bukan seperti mereka
Tapi kita bisa, kita mampu
Seperti dan LEBIH dari mereka
Untuk semua orang yang telah menorehkan cerita dalam perjuangan ini, terima kasih untuk semuanya. Cinta sempurna dari kedua orang tua untuk putrinya yang tidak sempurna ini, serta kasih keluarga, sahabat dan UNY tercinta. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada anak desa ini untuk merasakan gejolak menjadi seorang mahasiswa. HIDUP MAHASISWA UNY, HIDUP MAHASISWA INDONESIA !!     

notes : cerita ini dibuat untuk mengikuti lomba " Kisah Nyata Mahasiswa Bidikmisi UNY, tapi belum  diizinkan untuk lolos :').


Eka Rahmawati
12.12.2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar