APAPUN
YANG TERJADI, SELALU KUBERKATA
“ ALLAH ITU MAHA BAIK”
Kisah ini bermula dari
mimpi seoranng anak desa yang ingin mengubah nasib keluarganya menjadi lebih
baik dari saat ini. Anak bernama Eka Rahmawati yang mencoba membingkai mimpinya
agar kelak menjadi rangkaian kenyataan hidup yang indah. Tidak muluk sebenarnya
cita-citanya, ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti dan mampu membahagiakan
kedua orang tua dan keluarganya, serta menjadi seorang pendidik sejati bagi
anak bangsa ini. Ya, itulah saya, sang pemimpi itu.
Kami bukanlah keluarga
dengan ekonomi yang berlebih, dapat dibilang kami keluarga yang pas-pasan. Akan
tetapi kami tidak pernah kekurangan akan kasih sayang dan kehangatan keluarga, itulah
keluarga kami. Ayah saya bernama Kemiso, “ bapak” itulah panggilan kami untuk
beliau. Untuk usianya yang kini sudah menginjak usia ke 48 tahun, beliau masih
harus bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Beliaulah
tulang punggung utama keluarga kami. Beliau rela menjalani berbagai macam jenis
pekerjaan, mulai dari bertani dengan mengerjakan sawah sendiri yang tidak seberapa
luas hingga mengerjakan sawah tetangga denga sistem bayar maupun bagi hasil.
Untunglah ada salah satu kerabat kami yang mempercayakan pengelolaan sawahnya
kepada keluarga kami, hal ini cukup membantu menambah penghasilan keluarga
kami.
Selain bertani, ayah
saya adalah seorang tukang batu yang bekerja untuk tetangga yang sekaligus
saudara kami. Pakde Suprat, kami biasa memanggil bos ayah kami. Jika sedang ada
panggilan kerja, biasanya panggilan kerja yang lain pun berdatangan, bagaikan
jamur di musim penghujan. Akan tetapi jika sedang sepi, ayah terkadang terpaksa
menganggur bahkan hinggga berbulan-bulan. Ayah kami memang ayah yang multitalenta
dan tak kenal putus asa, selain bertani dan menjadi tukang batu, ayah masih
rela menjadi seorang tukang sol sepatu dan tukang tambal ban sepeda. Pekerjaan
ini memang tidak selalu ada, sangat bergantung pada tetangga sekitar yang
membutuhkan jasa ayah. Untuk urusan sol sepatu, ayah akan mendapat order yang
cukup banyak saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Berpasang sepatu baru dari
tetangga sekitar mengantri untuk dijahit. Banyak tetangga yang datang untuk
mengesolkan sepatunya, walaupun ada tukang sol sepatu lain di desa saya. Mereka
beralasan karena pekerjaan ayah saya rapi dan kuat. Terkadang hati saya sangat sakit, karena ayah
menjahit begitu banyak pasang sepatu baru saat menjelang hari raya, akan tetapi
beliau jarang sekali membeli sepatu baru walaupun sepatu lamanya sudah butut. Tetapi
beliau selalu berkata dengan bijak, “ mboten
nopo-nopo mbak sepatune bapak mboten anyar. Lebaran niku mboten kudu anyar baju
kaleh sepatune, sek penting hati kita, lahir batin sek bersih lan anyar, enggeh
kan mbak ? mbak kaleh adek juga teseh ngangge sepatu lebaran taun wingi to?
Mamak juga,” begitulah ayah menjawab
dengan bahasa Jawanya tatkala saya mengomentari sepatu bututnya. Begitulah
sosok ayah saya, sosok ayah yang begitu kami banggakan dan menjadi panutan saya
dan adik-adik saya. Ayah mempunyai watak yang tegas. Beliau akan langsung
menegur kami jika kami melakukan hal yang kurang baik, terutama dalam ibadah
kami. Beliau selalu mengajarkan kami untuk selalu sholat tepat waktu.
Selain ayah, saya masih
mempunyai pahlawan yang lain. Mama Saropah, tetapi kami biasa mengucapkannya
dengan logat yang sedikit ngapak “ mamak”.
Sosok anggun nan lembut yang selalu menjadi sandaran kami, tempat dimana kami
sekeluarga mendapat limpahan kasih sayang yang tak pernah kekurangan, sosok
yang memberika keamanan dan kenyamanan bagi kami, kini usia beliau sudah menginjak
43 tahun. Mama kami adalah seorang ibu rumah tanngga yang sangat bertanggung jawab dalam mengemban
tugasnya. Itulah pendapat kami anak-anaknya. Walaupun seorang ibu rumah tangga,
mama tidak sepenuhnya diam di rumah. Beliau bersama ibu-ibu yang lain akan
menjadi tenaga buruh tandur dan buruh
matun dadakan jika musin tandur dan matun tiba. Bersama rekannya, beliau berangkat ke sawah tatkala
mentari baru menampakkan wajahnya. Walaupun bekerja di sawah, beliau tidak
lantas meninggalkan begitu saja tanggung jawabnya. Beliau telah mempersiapkan
segala keperluan kami dan membereskan rumah sebelum berangkat.
Membeli
telur bebek untuk kemudian dijual kembali adalah usaha baru yang beliau tekuni.
Saat saya bertanya berapa keuntungan yang beliau peroleh dari penjualan telur
itu, saya sungguh kaget karena beliau hanya mendapat untung Rp 50,00 hingga Rp
150,00 per butirnya. Subhanallah,
sungguh tidak sebanding dengan usaha yang beliau lakukan, bersepeda dan tak
jarang harus berjalan kaki untuk mendapat barang dagangan. Akan tetapi, dengan
ikhlas beliau menjawab, “ Nggeh mboten
nopo-nopo kan mbak. Lumayan saged ngge tambah tumbas bumbu dapur, kaleh ngge
njajan Saski”, begitulah beliau menjawab dengan senyum khasnya yang selalu
membuat saya kangen tatkala jauh dari beliau.
Di samping pahlawan-pahlawan
hebat yang saya miliki, saya juga mempunyai dua malaikat kecil yang selalu
menghibur dan menghidupkan suasana rumah kami. Fitri Dwi Febriani, adik pertama
saya yang kini duduk di kelas X di sebuah SMA terbaik di kabupaten kami,
Purworejo. Mbak Fitri, begitulah ayah, mama dan saya memanggilnya dan “ mbak
Piti” panggilan dari adik saya, Saski, untuknya. Kini rumah menjadi sepi karena
si bawel satu ini tidak tinggal di rumah selama belajar di SMA, dia hanya
pulang satu hingga dua minggu sekali. Hal ini dikarenakan jarak rumah kami
dengan sekolahnya yang terletak di kota kabupaten cukup jauh.
Saskia Nur Azizah,
itulah nama cantik yang kami berikan untuk putri ketiga di keluarga kami. Saski
lahir tepat ketika esok harinya saya menerima raport kenaikan kelas X SMA.
Awalnya saya dan adik saya Fitri mersa terpukul ketika mngetahui akan mempunyai
adik lagi, akan tetapi kini Saski atau “ neng Nung” panggilan sayang kami
untuknya, telah mendatangkan suasana yang penuh keceriaan. Kini di usianya yang ke 3, ia tumbuh dengan rasa
keingintahuannya yang begitu besar akan semua hal di lingkungannya.
Masa putih abu-abu saya
lewati bersama teman dan SMA N 2 Purworejo tercinta ( SMANDA). Hari-hari yang saya
alami selama menjalani masa putih abu-abu begitu hebat dan membekas dalam diri
saya. Mencoba tetap berprestasi dan menjadi kebanggan orang tua adalah salah
satu cita-cita saya, karena saya tidak ingin mengecewakan orang tua. Peringkat lima
besar di kelas alhamdulillah ridak pernah lepas selama saya menjadi siswa di
SMANDA. Hingga akhirnya tibalah dipenghujung masa putih abu-abu, kelas XII SMA.
Disaat hampir semua teman saya sibuk mengikuti berbagai les tambahan menjelang
UN, saya hanya bisa mendapatkan
pelajaran tambahan dari sekolah karena saya tidak tega untuk membebani orang
tua dengan biaya les yang tidak sedikit. Walapun demikian, saya berusaha untuk
tidak minder maupun putus asa. Hal ini justru saya jadikan cambuk untuk lebih
giat lagi dalam belajar. Untunglah saya mempunyai sahabat yang begitu baik.
Eva, Devita, Yekti, Fajriana dan sahabat lain yang tidak enggan meminjamkan
catatan lesnya kepada saya.
Hai-hari kami
disibukkan dengan persiapan UN dan pembekalan dari guru BK, termasuk pembekalan
tentang pilihan untuk melanjutkan study ke Perguruan Tinggi. Disinilah hati
saya mulai gundah. Berbagai Perguruan Tingi, mulai dari universitas, akademi,
institut, sekolah tinggi, hingga sekolah kedinasan mendatangi sekolah kami
untuk memberikan sosialisasi. Sosialisasi itu mampu mengubah mindset dan ketakutan saya akan Perguruan
Tingi menjadi sebuah kekuatan, sehingga lahirlah kemauan saya untuk melanjutkan
pendidikan. Selain itu, motivasi dari guru Kimia kami, Bu Tatik yang begitu
membakar, membuat saya semakin bersemangat. Beliau bercerita tentang bagaimana
suatu keadaan ekonomi yang kurang tak berhak membuat kita putus sekolah. Satu
cerita yang begitu menarik bagi saya yaitu, adanya beasiswa BIDIKMISI yang
diberikan pada siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu,
sehingga mereka dapat kuliah dengan biaya 0 ( nol) rupiah.
Perlahan saya sampaikan
keinginan saya untuk melanjutkan kuliah kepada orang tua. Sebagai orang tua
mereka tentu mengetahui hal sekecil apapun yang dirasakan sang buah hati,
termasuk dalam hal pendidikan. Kami pun mulai berbicara perlahan dari hati ke
hati dan dengan tegas mereka mengungkapkan sangat mendukung keinginan saya
untuk melanjutkan study. Saya melihat cahaya keikhlasan dan semangat dari
setiap tatapan dan ucapan mereka. Dari
sinilah saya mulai menyusun potongan mimpi dan keberanian untuk menapaki
cita-cita saya.
Ketika pengumuman
dibukanya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tingi Negeri ( SNMPTN) jalur undangan saya
pun tertarik dan kembali berunding dengan orang tua. Ketertarikan saya ini
tentu beralasan, selain karena dorongan dari teman-teman dan nasehat guru BK,
saya melihat nilai saya cukup layak untuk dikompetisikan dengan mereka didalam
seleksi. Saya cukup yakin dengan pilihan saya dan orang tua tentang prodi dan
universitas yang saya cantumkan dalam formulir pendaftaran. Akan tetapi, kita
sebagai manusia memang hanya bisa merencanakan, berusaha dan berdoa, akhirnya
semua itu akan kembali pada sang Penguasa. Begitulah, roda kehidupan memang
terus berputar, membuat sang pelaku merasakan nikmatnya berada di atas dan
pahitnya di bawah. Awalnya saya cukup yakin akan diterima melalui jalur
undangan ini, tetapi kenyataan berkata lain. Allah belum mengizinkan keinginan
saya kala itu. Sungguh terpukul hati saya, padahal saya sudah cukup lega karena
lolos dalam seleksi calon penerima BIDIKMISI, akan tetapi orang tua terus
memberikan dukungannya dan terus menyemangati saya untuk tidak terlarut dalam
kesedihan.
Sempat terlintas dalam
benak saya bahwa mimpi saya sudah beakhir dengan gagalnya saya masuk Perguruan
Tingi melalui jalur undangan. Saya berusaha bangkit dan menata kembali serpihan
cita yang belum tergapai. UN menjelang di sepan mata, kami semakin mematangkan
diri untuk menghadapi UN dan alhamdulillah UN berjalan lancar. Begitu SNMPTN
jalur tertulis dibuka, saya pun mendaftar. Saya bulatkan tekad dan niat untuk
mengambil prodi PGSD UNY sebagai pilihan pertama saya, selain karena saya
memang berminat, kedua orang tua pun menginginkan saya menjadi guru SD. Sembari
menunggu pengmuman hasil SNMPTN tertulis, saya mencari pekerjaan untuk mengisi
kekosongan waktu luang dan belajar mencari penghasilan sendiri. Saya menjadi
seorang pelayan toko busana di Kutoarjo, tak jauh dari SMA saya. Pekerjaan ini
saya jalani selama kurang lebih satu bulan. Disinilah saya menyadari bahwa
untuk mendapatkan satu rupiah yang selama ini kita pandang sebelah mata
membutuhkan perjuangan yang berat. Akan tetapi saya tidak pernah malu ataupun
minder, justru saya bangga karena berani melakukan hal ini.
Usaha, doa dan kerja keras kami akhirnya
memberikan hasil yang manggembirakan. Alhamdulillah saya diterima di prodi PGSD
UNY. Sayangnya, kegembiraan itu hanya berlangsung sesaat karena saya kembali
sadar bahwa biaya registrasi itu sangat mahal bagi kami. Jujur saja, orang tua
saya belum mempunyai cukup uang untuk membayar sejumlah Rp 6.605.000,00. Disaat
saya kembali temenung dan bimbang, kedua orang tua meyakinkan bahwa mereka
pasti bisa mengusahakan itu. Disini saya lihat betapa besar perjuangan,
pengorbanan dan ketulusan orang tua kita untuk sang buah hatinya. Berusaha
menghubungi keluarga kami dan meminta bantuan untuk membiayai biaya registrasi.
Masih saya ingat betul, malam itu malam Kamis hampir tengah malam, hujan di
luar mengiringi hujan pula disudut mata ini menyadari bahwa besok adalah hari
terkahir registrasi, akan tetapi uang yang ada belum mencukupi. Tetapi, mukjizat
Allah memang nyata dan mempermudah jalan kami sehingga malam itu juga ayah dan
ibu saya bisa mendapatkan uang untuk dibayarkan keesokan paginya.
Menapakkan kaki di
universitas masyhur nan favorit membuat saya bangga bisa menjadi salah satu
bagian di dalamnya. Berbagai proses saya lewati sebagai persyaratan menjadi
seorang mahasiswa baru UNY, mulai dari registrasi, mengikuti berbagai
pembekalan seperti ICT, ESQ hingga OSPEK. Rasa gundah saya tidak berhenti
ketika saya mampu melakukan registrasi. Saya selalui dihantui perasaan bersalah
karena telah begitu banyak membebani orang tua saya tanpa ada usaha dari saya
untuk mengurangi beban tersebut. Satu hal yang membuat saya semakin sedih yaitu
tatkala ayah saya harus opname di Puskesmas, dan keesokan paginya saya harus
berangkat ke Jogja untuk mengikuti ritual maba yang wajib diikuti. Saya
terpaksa meningglkan beliau, mama dan adik-adik saya. Keadaan yang saya alami
ini diketahui oleh budhe teman saya, dimana saya tinggal sementara selama
proses registrasi ini, Budhe Bambang. Beliau begitu merangkul saya, mendengar
cerita saya layaknya seorang ibu kepada anaknya. Oleh karenanya tak sungkan
saya ceritakan bagaimana latar belakang keluarga saya, termasuk keadaan
ekonomi. Beliau senantiasa memotivasi dan membakar semangat saya, mengingatkan
saya bahwa disana saya tidak sendiri, ada mereka keluarga baru saya. Saya juga
tidak boleh melupakan untuk apa dan karena siapa saya bisa berkuliah di UNY.
Awalnya saya ragu bisa
mendapatkan beasiswa BIDIKMISI seperti yang dulu saya cita-citakan, akan tetapi
berkat arahan dari Budhe bambang dan salah satu kerabatnya saya kembali
bersemangat untuk mencoba mengajukan permohonan beasiswa itu. Yang saya ingat,
betapa berat usaha dan pengorbanan yang telah dilakukan semua orang untuk saya,
maka saya pun harus berjuang, setidaknya untuk diri saya terlebih dahulu. Betapa
berat perjuangan itu, diiringi liku dan tangis. Bersama teman saya menemui jajaran
dekanat hingga birokrasi rektorat untuk mencari informasi pengajuan beasiswa
itu.
Ternyata jalan itu tak
semulus dan semudah jalan tol. Perlakuan yang kurang ramah serta ketidakjelasan
informasi sehingga urusan saya ini berkali-kali dialihkan ke berbagai pihak.
Setelah berkas berhasil dimasukkan saya harus menunggu dua minggu untuk
mengetahui hasil dari surat permohonan saya itu, begitulah kata kepala bagian
Tata Usaha. Dua minggu kemudian pun saya kembali ke rekorat dan menanyakan
perkembangan dari permohonan saya, akan tetapi tak ada jawaban yang mampu menghapus
kegundahan hati saya. Waktu begitu lama berjalan dan tak kunjung datang kejelasan
apakah beasiswa saya diterima atau tidak. Bahkan kepastian itu tak kunjung saya
dapatkan hingga saya sudah menjalani perkuliahan selama beberapa bulan di UNY
Kampus Wates. Dan akhirnya keajaiban itu datang, tanpa kita menduga dari mana
dan kapan datangnnya. Suatu sore selepas saya sholat ashar, teman saya
mengabarkan bahwa nama saya tercantum sebagai salah satu mahasiswa penerima
beasiswa BIDIKMISI. Subhanallah, Allah memang Maha Adil kepada setiap hambaNya.
Berita ini bagaikan angin semilir di tengah keringnya panas padang pasir bagi
keluarga kami. Airmata dan ungkapan syukur senantiasa saya dan orang tua
panjatkan.
Never
ending to fight, mungkin itulah ungkapan yang pantas
kami jadikan motivasi. Pasalnya, setelah saya resmi diterima sebagai mahasiswa
penerima beasiswa BIDIKMISI tidak ada pengumuman bagaimana prosedur untuk
mengambil kembali uang yang telah di bayarkan. Hal ini dialami saya dan satu
orang lagi teman dari UNY Kampus Wates juga. Usaha kami yang pertama ditolak,
karena ketidaktahuan kami sehingga belum dapat melengkapi berkas yang harus
disertakan. Setelah berbagai persayratan
dapat kami lengkapi, akhirnya uang yang telah kami bayarkan dapat kembali.
Betapa bahagia saya membayangkan bagaimana ekspresi kedua orang tua saya jika
saya pulang membawa uang sejumlah Rp 6.605.000,00 yang dulu dengan susah payah
kami dapatkan.
Tetesan air bening itu
menggantung di sudut mata ayah mama tatkala uang itu saya sampaikan kepada
beliau. begitu sulit rasa itu untuk diiungkapkan. Apakan anda tahu apa yang
dilakukan oleh ayah dan mama setelah menerima uang itu ? Ya, beliau langsung
membagi-bagi uang tersebut untuk dikembalikan kepada saudara-saudara kami yang
telah membantu biaya registrasi saya kala itu. Sungguh tak masuk dalam pikiran
saya, tatkala beliau mengucapkan terima kasih kepada saya untuk semua itu. Saya
merasa sangat tidak pantas untuk menerima ucapan itu, justru sayalah yang
harusnya berterima kasih kepada beliau, karena sampai kapan pun saya tak akan
pernah mampu membalas kebaikan yang telah beliau berikan.
Kini, saya dapat lebih
fokus kuliah karena tak lagi harus selalu membebani orang tua karena selalu meminta
uang, baik untuk biaya hidup, tugas-tugas maupun berbagai kegiatan yang wajib
diikuti sebagai calon guru SD. Saya dan
adik saya juga belajar berusaha mencari uang saku sendiri dengan berjualan
pulsa. Memang tak seberapa keuntungan yang didapat, setidaknya kami dapat
membeli pulsa tanpa harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Saya berusaha
memanfaatkan beasiswa yang saya dapatkan sebaik mungkin, karena ini merupakan
amanat dari rakyat yang diberikan kepada kami untuk meringankan beban kuliah
kami, sehingga kami dapat terus berprestasi tanpa perlu dihantui dengan
selangitnya biaya kuliah yang harus dibayarkan. Sebagian beasiswa yang saya terima
saya tabung, karena saya mempunyai keinginan untuk membeli laptop tanpa meminta
uang dari kedua orang tua. Akan tetapi, keinginan itu baru terwujud tanggal 10
November 2012 kemarin. Sebelumnya saya mempunyai laptop sendiri, saya meminjam
laptop teman untuk mengerjakan berbagai tugas. Mengantri dan menunggu si
empunya laptop selesai mengerjakan tugas adalah resiko yang hahrus saya terima.
Saya ikhlas dan tidak pernah membuat itu sebagai beban ataupun membuat saya
minder karena termasuk segelintir mahasiswa yang belum mempunyai laptop.
Untunglah saya mempunyai sahabat-sahabat yang begitu baik, dengan ikhlas mereka
meminjami saya laptop untuk mengerjakan tugas, menulis artikel maupun utnuk
keperluan lainnya. Hampir seluruh teman perempuan saya di asrama dulu pernah
merasakan meminjamkan laptop kepada saya. Terima kasih, sahabatku untuk semua
cerita, tangis, canda tawa dan cerita yang kita bagi bersama.
Menjadi mahasiswa
BIDIKMISI tentu menimbulkan suatu kebanggan dan rasa takut itu sendiri. Bangga
karena kami termasuk mahasiswa yang terpilih dan takut jika kami tidak mampu
menunjukkan bagaimana mahasiswa BISIKMISI itu sebenarnya. Dengan segala
keterbatasan yang saya miliki, terutama belum adanya laptop sewaktu semester 1
dan 2, bukan menjadi alasan saya tidak bisa seperti mereka yang mempunyai
fasilitas yang lengkap. Alhamdulillah, IP saya dalam dua semester ini cumlaude, bahkan IP semester 2 saya
berhasil menjadi IP tertinggi mahasiswa FIP di UNY Kampus Wates. Saya berharap
bahwa saya dan teman-teman yang lain dapat berprestasi, tidak hanya dalam
bidang akademik saja, akan tetapi juga dalam bidang non akademik. Karenanya
saya tidak ingin menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja yang hanya disibukkan
dengan aktivitas pekuliahan dan berkutat dengan berbagai tugas yang diberikan.
Oleh karena itu, saya bergabung menjadi salah satu pengurus HIMA PGSD UNY
Kampus Wates. Berbagai pelajaran dan pengalaman yang belum pernah saya dapatkan
dan tidak ada dalam bangku perkuliahan saya dapatkan dalam keluarga baru saya
ini.
Menjadi mahasiswa BIDIKMISI adalah tanggung
jawab
Menjadi
mahasiswa BIDIKMISI adalah amanat
Menjadi
mahasiswa BIDIKMISI adalah tantangan
Akan
tetapi…
Menjadi
mahasiswa BIDIKMISI adalah kebanggan
Kawan,
mari kita tunjukkan
Memang
kita bukan orang kaya
Memang
kita bukan seperti mereka
Tapi
kita bisa, kita mampu
Seperti
dan LEBIH dari mereka
Untuk
semua orang yang telah menorehkan cerita dalam perjuangan ini, terima kasih
untuk semuanya. Cinta sempurna dari kedua orang tua untuk putrinya yang tidak
sempurna ini, serta kasih keluarga, sahabat dan UNY tercinta. Terima kasih
telah memberikan kesempatan kepada anak desa ini untuk merasakan gejolak
menjadi seorang mahasiswa. HIDUP
MAHASISWA UNY, HIDUP MAHASISWA INDONESIA !!
notes : cerita ini dibuat untuk mengikuti lomba " Kisah Nyata Mahasiswa Bidikmisi UNY, tapi belum diizinkan untuk lolos :').
Eka Rahmawati
12.12.2012